Modal VS Moral

26/02/2012 09:34

 

by Daben Suhendi

 

24 Februari 2012

 

Ciri-ciri akhir jaman diantaranya banyak kejadian aneh disekitar kita diantaranya; makin banyak aliran atau golongan, adab perempuan akan seperti laki-laki yangberpakaian serba ketat dan pun sebaliknya laki-laki akan pakai antingan ataumembiarkan rambutnya terurai panjang, yang benar disalahkan dan yang salah akan dibela atau dibenarkan, kekacauan atau kerusahan terjadi dimana-mana, dst. Sang guru ngaji melanjutkan tausiahnya, "anak-anak sepertinya hidup kalian akan lebih sulit dihadapi karena kalian akan menyaksikannya langsung atau bahkan mengalaminya, kuatkanlah iman kalian!", ucap guru ngajiku sambil melirik ke arahku, status ngajiku yang belang-betol alias sering kabur.

 

Ketika itu usiaku masih sekitar 10 - 15 tahunan (tahun 1986 - 1991). Kami belajar mengaji bersama disebuah Surau yang alhamdulillah saat ini telah menjadi sebuah Pesantren. Dengan hanya bermodalkan lampu listrik yang maksimum 10 watt (maklum ngirit), kami terus ditempa untuk menjadi insan-insan yang bertaqwa dan bermoral. Kadang malas banget untuk belajar saat itu sampai bahkan orangtua kami menganter atau mengejar kami sampai ke Surau tersebut. Niat baik memang selalu saja mendapatkan godaan dan berat untuk dilakukan. "Berkata iblis: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlisdiantara mereka". (QS.Al Hijr:39-40). Sebelum gema demokrasi melekat di tanah air, modal kemewahan telah menjadibiang ambruknya moral.

 

Tahun 1998 ketika ruh reformasi berkobar, api pun mulai menyebar memerahkan indahnya ibu kota Jakarta. Kepulan asap hitam menyelimuti utara, selatan, timur, barat dan pusat kota. Air mata tumpah, darah bersimbah bahkan jiwa pun dilaporkan melayang. Ketakutan warga kian mencekam. 

 

Setelah itu, apakah tidak ada lagi air mata, darah, atau laporan tewasnya warga?

Reformasi ternyata hanyalah momentum belaka, momentum awalnyakebebasan tanpa batas dan norma yang tegas. Berita pencurian, pemerkosaan, pelecehan, penghinaan, pengrusakan, perkelahian, tawuran, mayat bayi, mutilasi dan tikam-menikam sudah tidak asing lagi saat setelah 5, 10 tahun setalah reformasi. Bahkan saat ini ditambah dengan sejumlah laporan budaya korupsi, berbohong, berakting dan sejumlah laporan asusila di sejumlah media sudah menjadi sesuatu yang biasa dan bukan luar biasa lagi, saling tuding dan menjatuhkan/merendahkan sudah dijadikan norma yang lumrah. Hanya bermodalkan pangkat, jabatan, posisi, uang, dan kekayaan telah menjadi backing bagi mereka yang merasakannya untuk berbuat apa yang mereka mau, suka. Sementara rakyat pinggiran yang kekayaan, uang bahkan hak-haknya yang terusik dibiarkan menjerit. Hukum pun bisa diperjual belikan sementara nyawa dipertaruhkan, sudah seperti hukum rimba. Kesombongan dimana-mana termasuk disekeliling kita.

 

Jika dulu para orang tua kita mewariskan semangat perjuangannya, maka warisan apa yang akan dilimpahkan kita nanti? Semangat Reformasi? Semangat Korupsi? Semangat Erupsi? Semangat Kekerasan? atau apa?

 

Dulu Indonesia dikenal dengan negeri seribu kekayaan dan kebudayaannya yang elok, sekarang dikenal negeri dengan seribu bencana, terkorup, apalagi nanti ketika semua kekayaan geografi dan tatanan moral semua negeri erupsi?

Dengan bermodalkan sebuah pencil dan selembar kertas, pesan moral apa yang akan antum suratkan? Akankah sesuai dengan apa yang tersirat?

 

Ucapan guru ngajiku nyata adanya yang bersumber dari Al-Quran dan hadist. Kita hidup diakhir zaman. Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang beruntung dalam lindungan serta keridloan Nya.