Menjawab Keraguan Kualitas Distance Learning Bagi Program Nursing

27/01/2012 19:29

Pendahuluan

Peluang kerja lulusan tenaga kesehatan Indonesia untuk bekerja di luar negeri terbuka lebar. Di Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, Australia, Korea, Jepang serta negara-negara Asia lainnya. Mereka membutuhkan pasokan ratusan ribu nurses (Pusdiknakes, 2008, Online). Seharusnya kesempatan ini segera diantisiapsi oleh Indonesia sebagai negara berkembang dengan sumber daya manusia yang melimpah. Pendidikan nursing mestinya dipandang sebagai salah satu sektor yang prospektif. Menghasilkan tenaga kerja yang handal, bukan hanya siap bekerja di dalam negeri, namun juga memenuhi lowongan tenaga kesehatan di negara-negara maju.

Sayangnya, belum semua universitas mengelola sektor pendidikan ini dengan optimal. Padahal, kualifikasi yang dibutuhkan di luar negeri sangat tinggi. Calon pekerja harus memiliki standard minimal dan keterampilan sesuai perkembangan alat-alat modern. Saat ini terdapat 12 universitas negeri yang menyelenggarakan program pendidikan S1 nursing (Martono, Online, 2006). Sejalan dengan itu, jumlah lulusan Diploma 3 tak terbendung. Jumlah per tahunnya mencapai 35.000 (Martono, 2007).

Lulusan D3 yang bekerja di luar negeri juga menduduki prosentase terbesar. Di Kuwait misalnya, dari lebih dari 700 nurses kita yang ada, hanya 7 orang lulusan S1 (Martono, Online, 2006). Di Qatar, dari 60 nurses kita yang ada, hanya 5 orang yang mengantongi ijazah setingkat BSN (Suhendi, Personal Comm., 2008). Pada tahun 2014 nanti diharapkan tercapai S1 untuk semua nurses. Guna merespons tujuan tersebut, mereka tentu membutuhkan pengembangan dan peningkatan kompetensi melalui pendidikan formal.

Persoalannya, krisis ekonomi yang menghamtan negara kita sejak lengsernya Orde Baru 1998, tidak juga kunjung usai. Kenaikan harga BBM yang dibarengi dengan berbagai pergolakan politik berpengaruh besar terhadap berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali di sektor continuing education ini. Hampir setiap hari, ada saja sekolah yang rusak bangunan fisiknya (www.republika.co.id). Belum lagi persoalan supply tenaga pengajar serta perangkat lunak lainnya. Dampak kenaikan harga ini salah satunya membuat sebagian besar lulusan D3 nursing sulit melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Ditambah lagi begitu terbatasnya tempat duduk, waktu belajar dan transportasi. Lengkaplah sudah kesenjangan dunia pendidikan kita!

Sementara itu, hingga saat ini, Universitas Terbuka, satu-satunya lembaga pendidikan penyelenggara Distance Learning (DL), belum terdengar tanda-tanda bakal mewadahi minat 200 ribu lebih lulusan D3 nursing agar mereka bisa meneruskan pendidikan mereka ke jenjang sarjana (CHEA, 2001). Ini berarti, impian mereka untuk meningkatkan kompetensi profesinya makin kabur. Di pihak lain, sayangnya Pemerintah juga belum terlihat geregetnya mendukung program DL ini untuk nursing. Padahal, saat ini tidak kurang dari 2.6 juta website yang tersedia di internet yang memberikan informasi tentang DL untuk nursing (www.google.com).

Pemerintah kita di satu sisi membuka program belajar jarak jauh lewat UT. Tapi ironisnya, di sisi lain, dengan berbagai alasan, Pemerintah terlalu skeptik dalam memperlakukan lulusan DL program ini.

Pertanyaannya: mengapa kualitas lulusan DL bagi profesi nursing ini ‘masih’ diragukan?

Artikel ini berupaya menjawab fenomena ini dengan menganalisa pentingnya DL bagi nurses, kendala pengembangan kompetensi nurses di Indonesia, faktor-faktor penghambat DL, pemain kunci DL, serta problem –based learning sebagai sebuah pendekatan.

Pentingnya DL Bagi Nurse

Dari tahun ke tahun pertumbuhan dan perkembangan teknologi dunia kesehatan bertambah. Hal ini terjadi guna mengimbangi kebutuhan serta tuntutan pelayanan kesehatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan pelayanan kesehatan ini hanya akan bisa dipenuhi apabila diimbangi oleh peningkatan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya nursing. Di Indonesia, persoalan kelanjutan pendidikan bagi lulusan D3 Keperawatan dilematis sekali.

Terbatasnya universitas yang menyelenggarakan pendidikan S1, biaya mahal serta ‘belum’ adanya niat kita untuk menebas kesenjangan ini melalui DL adalah beberapa yang bisa disebut. Kesulitan nurses menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi membuat keberadaan DL sebenarnya menjadi sebuah alternatif yang menarik. Dengan adanya fasilitas internet misalnya, nurses dapat memperoleh ilmu ‘gratis, mendapatkan ‘mitra’ baru dari berbagai negara, menghemat biaya yang jauh lebih murah, bahkan memperoleh ‘pengakuan’ masyarakat (Purbo, 2001).

Tidak kita pungkiri bahwa tahun-tahun terakhir ini terjadi peningkatan drastis pertumbuhan DL khususnya Online Learning (OL) di seluruh penjuru dunia. OL dianggap sebagai cara belajar yang cost-efective, scalable, fleksibel dan student-centered (Eurodl. 2004). Meski murah, namun bukan untuk sebagian besar lulusan D3 nursing kita di Indonesia, kecuali yang bekerja di luar negeri. Materi pembelajaran DL ditawarkan oleh banyak perguruan tinggi/universitas dengan menggunakan pendekatan student-oriented: berorientasi pada tempat di mana mereka bekerja. Artinya, materi pembelajaran tidak melulu pada teori, namun analisa praktek yang fleksibel.

Kita tidak dapat menutup mata, bahwa DL merupakan model pendidikan yang dapat diterima oleh banyak pihak. Kalau dunia kedokteran saja bisa, mengapa bersikap antipati pada pendidikan nursing? Banyak lembaga pendidikan nursing di belahan bumi (Amerika Serikat, Inggris, Australia, India hingga Malaysia) menyelenggrakan program serupa. Dengan bentuk pendidikan seperti ini nurses dapat menyelesaikan pendidikan mereka dengan tanpa menapakkan sejengkal kaki mereka di kampus. ‘Professionalism is an important outcome of nursing education’, kata Faison (2003).

Kendala Pengembangan Kompetensi Nurses di Indonesia

Dalam sebuah artikel ‘Logika Pendidikan Jarak Jauh’, Purbo (2001) mengungkapkan bahwa kenyataan hasil pendidikan di Indonesia selain biaya pendidikan yang mahal, sulit mencari perguruan tinggi yang terjangkau, juga tidak dapat menjamin adanya kemampuan kerja. Lebih lanjut diutarakan, bahwa lulusan S1 bukan tenaga terampil. Sementara kenyataan di pasar, banyak membutuhkan skilled workers (Purbo, 2001). Penghasilan nurses yang rendah, terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan program S1, faktor waktu yang mengharuskan kerja sambil kuliah, serta letak geografis Indonesia; semua ini menjadi kendala besar yang dihadapi oleh mereka yang berkemauan keras ingin melanjutkan pendidikannya.

Pendapat Purbo (2001) barangkali tidak sepenuhnya benar, karena lulusan nursing tergolong ‘mudah’ mencari pekerjaan. Ribuan lowongan kerja tersebar luas di seluruh dunia (Pusdiknakes, 2008). Kesempatan bekerja di Arab Saudi, UAE, Qatar, Malaysia dan Singapore masih terbuka lebar di PT Milleneum Muda Mandiri (www.milleneummudamandiri.com). Itu menunjukkan bahwa peluang kerja bagi nurses masih lengang.

Namun demikian, tidak berarti bahwa keberangkatan ke luar negeri dalam mengisi ribuan lowongan tersebut bukan tanpa kendala. Mereka tetap membutuhkan syarat-syarat yang kompetitif. Di Department of Health & Medical Services-UAE (www.dohms.gov.ae) syarat minimum bagi nurses adalah Bachelor of Nursing (BSN). Hanya mereka yang memiliki persayaratan minimal yang bisa mengisi lowongan tersebut.

Sebagaimana diketahui, hingga saat ini hanya terdapat satu lembaga pendidikan yang menyediakan fasilitas pendidikan jarak jauh di Indonesia yakni Universitas Terbuka (CHEA, 2001). Dari lima fakultas yang ada, nursing tidak termasuk di dalamnya (UT, Online, 2008). Ketiadaan fakultas nursing di dalamnya berarti batu sandungan bagi lulusan D3 nursing. Meski begitu, ada hawa segar terhirup di Kuwait. Universitas Pajajaran untuk pertama-kalinya akan berusaha menjajaki kemungkinan dilaksanakannya program jarak jauh bagi nurses kita di Kuwait (Dimyati, Personal Comm., 2008). Program yang sama tersendat realisasinya dengan Universitas Indonesia tahun lalu (Martono, 2007).

Inilah sejumlah kendala yang membuat ruang gerak kita dalam berkompetisi dengan lulusan luar negeri seperti India dan Filipina, menjadi sempit. Lulusan S1 di negeri kita masih banyak untuk konsumsi dalam negeri, misalnya untuk posisi tenaga dosen atau senior di rumah sakit-rumah sakit.

Faktor-faktor Penghambat DL

DL tidak pernah dapat dipisahkan dengan komputer dan internet , disamping pemanfaatan voice, video, data, serta media cetak lainnya (Uidaho, 2008). Fasilitas ini yang menunjang kelancaran penyelenggaraan DL. Di Indonesia, meskipun DL sudah diperkenalkan sejak awal tahun 80-an dan banyak lembaga pendidikan yang mencoba menerapkan proses e-learning, di tengah-tengah krisis ekonomi, kendala di bawah ini tetap dirasakan besar pengaruhnya hingga sekarang:

Infrastruktur yang kurang mendukung.

Menurut Sulistyo-Basuki (2007) dari 223 juta orang jumlah penduduk Indonesia yang ada, hanya 20 juta yang memiliki fasilitas telepon. Padahal telepon adalah pra-syarat DL. Menggunakan telepon seluler sudah tentu kurang bijaksana, karena akan sangat mahal biayanya. Disamping itu pelanggan internet di Indonesia juga masih terbatas. Pada tahun 2004, tercatat 1.3 juta pelanggan dan 14 juta pengguna (Sulistyo-Basuki, 2007). Apalagi nurses kita banyak yang tinggal di daerah dan desa-desa di mana belum terjangkau oleh fasilitas tersebut. Distribusi infrastruktur yang demikian jelas akan mempersulit proses belajar mereka.

Standard manajemen.

Meskipun sebagian besar operator e-learning rata-rata adalah lembaga pendidikan tinggi atau universitas, kebanyakan mereka kurang memenuhi standard. Itu bisa dilihat dari jumlah informasi yang bisa diakses oleh calon mahasiswa dari universitas tersebut (Sulistyo-Basuki, 2007). Meski pada dasarnya informasi yang ada di website lembaga pendidikan tersebut ditujukan bagi mahasiswa, namun isinya tidak sampai pada standard intelektual akademi.

Tidak adanya koordinasi dalam penyelenggaraan e-learning (Sulistyo-Basuki, 2007).

Sebelum Soeharto jatuh, pendidikan kita menganut system sentralisasi. Namun sesudah itu desentralisasi di mana peranan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kini hanya sebagai fasilitator (Sulistyo-Basuki, 2007). Hal ini yang membuat setiap perguruan tinggi menggunakan selera mereka sendiri-sendiri. Bahkan berbeda departemen dalam perguruan tinggi yang sama pun banyak terjadi perbedaan. Tengoklah situs resmi dua buah universitas negeri terkenal di Tanah Air dan telusuri fakultas nursing, kemudian bandingkan dengan fakultas kesehatan lainnya!

Faktor budaya.

Orang Indonesia lebih menyukai berbicara dari pada menulis (Sulistyo-Basuki, 2007). Karena itu tidak heran jika e-learning tidak begitu popular di antara mahasiswa kita. Mereka lebih menyukai kuliah tatap muka dari pada belajar sendiri. Ratusan ribu komunitas nurses di tIndonesia sepertinya belum sanggup untuk mengusung ide DL ke papan atas.

Pemain Kunci DL

Mahasiswa.

Tanpa memandang konteks pendidikan, peran primer mahasiswa adalah belajar yang membutuhkan motivasi, perencanaan dan kemampuan menganalisa serta mengaplikasikan materi instruksional yang diajarkan (Uidaho, 2008). Mahasiswa juga perlu menguji derajat kemauan untuk studi lanjut (Darmawansyah, 2008). Sebab, apapun pilihannya, sepanjang didukung oleh kemampuan dasar ini dibarengi tekad yang kuat dan semangat yang tinggi, bakal mengurangi risiko kegagalan.

Program Studi (Prodi).

Minat dan bakat saja belum cukup dalam menunjang suksesnya program DL. Mahasiswa perlu menyimak ada tidaknya prodi serta prospek lulusannya. Idealnya, nurses bakal memilih prodi sesuai dengan minat dan bakat serta dibutuhkan oleh pasar (Darmawansyah, 2008). Selama ini, jangankan untuk program DL, program reguler saja belum memiliki sistem penjurusan yang memadai untuk nursing. Dibutuhkan kerja keras lembaga pendidikan untuk membuka program spesialisasi sesuai minat ini.

Fasilitator.

Fasilitator harus menjembatani harapan instruktur/dosen terhadap tujuan belajar mahasiswa (Uidaho, 2008). Guna mendukung proses pembelajaran yang efektif, fasilitator harus berfungsi sebagai kepanjangan mata dan telinga instruktur baik itu menyangkut masalah kelengkapan belajar, pengumpulan assignments, materi ujian, dsb.

Staf Penunjang.

Mereka ini adalah individual yang memberikan pelayanan penunjang pendidikan seperti registrasi, penyediaan bahan studi, pendistribusian materi belajar, pemesanan buku, pemrosesan laporan penilaian, dll. Uidaho menyebut staf ini sebagai silent hero (2008).

Staff Pengajar.

Salah satu fondasi yang mendukung keberhasilan DL terpaku pada pundak instruktur. Dalam setting kelas tradisional, tenaga pengajar bertanggung-jawab terhadap materi pembelajaran dan proses pengembangan pemahaman kebutuhan mahasiswa (Uidaho, 2008). Di DL, prinsip ini ditantang dengan jalan misalnya: dosen harus memahami karakteristik dan kebutuhan mahasiswa yang jauh. Bilamana perlu tatap muka. Dosen dituntut mengadopsi sistem pembelajaran yang berbeda di antara keberagaman audiensi. Dosen juga diharuskan berfungsi sebagai fasilitator terampil sekaligus sebagai penyedia materi yang efektif (Uidaho, 2008).

Problem-Based Learning Sebagai Sebuah Pendekatan

Problem-based learning (PBL) adalah sebuah konsep belajar di mana mahasiswa memfokuskan belajar mereka dari awal pada rangkaian masalah-masalah profesional, yang mana pengetahuan dari berbagai disiplin akademi yang terkait dengan masalah tersebut diintegrasikan (Sadlow et al, 1994). Model pembelajaran ini sudah diterapkan di dunia kedokteran lebih dari 25 tahun lalu. Secara historis, nursing termasuk cabang ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas berbagai disiplin ilmu kesehatan yang berupa praktek dan teori. Menerapkan konsep yang sama bagi profesi nursing terkesan relevan.

Schon (1983) mengemukakan bahwa masalah-masalah yang dihadapi seorang profesional setiap hari bukanlah ekspresi dari textbook murni. Kenyataan ini sesuai sekali dengan pengalaman nurses di lapangan yang menghadapi pasien dengan berbagai persoalan kesehatan yang kompleks. Pendidikan yang hanya berfokus pada disiplin akademik, bukan kepada pengetahuan yang semestinya dibutuhkan oleh profesional dalam pandangan ini, justru tidak relevan (Eurodl, 2008). Nurses lulusan D3 yang memiliki pengalaman kerja adalah profesional yang dalam prakteknya membutuhkan pengetahuan yang diharapkan bisa diaplikasikan di lapangan.

Nurses perlu memiliki kemampuan menggunakan startegi dan kerangka kerja guna memenuhi kebutuhan pasien dan mengevaluasinya dengan memanfaatkan pengetahuan profesional. Strategi pencapaian tujuan itu terdapat dalam konsep PBL. PBL ini memiliki dua tujuan yakni pemenuhan kebutuhan profesi dan komunitas akademi (Eurodl,2008). PBL ini bisa diimplentasikan dalam kerangka kerja pendidikan maupun pelatihan-pelatihan nursing.

Menggunakan pendekatan PBL ini dalam lingkungan e-learning memiliki sejumlah keuntungan. Intruktur dapat menciptakan skenario dengan tujuan menstimulasi minat mahasiswa. Skenario ini kemudian dieskplorasi serta dikembangkan oleh mahasiswa dengan kajadian atau suasana di mana mereka berinteraksi dengan pasien dalam situasi yang berbeda. Mahasiswa di sini dituntut mampu menghubungkan dan meneliti kaitan ilmu dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang aktual. Pada tahap ini, kemampuan mahasiswa dalam mengakses berbagi sumber lewat e-learning amat significant.

Tentu saja di sini barangkali ada permasalahan di mana mahasiswa yang menggunakan PBL dalam lingkungan e-learning bagi clinical training mungkin tidak membutuhkan pengetahuan yang memadai untuk kepentingan praktik mereka, atau mahasiswa bisa jadi tidak terorganisir belajarnya atau tidak tercapai kompetensinya sebagaimana yang dikatakan oleh Benner (1984). Namun untuk kasus nurses di sini berbeda. Nurses yang menekuni program DL ini sudah mendapatkan kuliah yang diajarkan oleh ahlinya selama belajar di bangku kuliah. Pada masa DL mereka hanya diberikan kesempatan untuk melengkapi formative assessment guna melihat sejauh mana pemahaman mereka terhadap teori yang diterima di kelas. Jadi, penerapan sistem belajar PBL di sini di dasarkan pada assessment strategy (Eurodl, 2008).

Kesimpulan

Distance Learning adalah sebuah bentuk instruksional di mana mahasiswa dan instruktur terpisah secara geografis. Melalui penggunaan sarana telekomunikasi, mereka dapat melanjutkan pendidikannya tanpa merelokasi university setting. Lulusan program D3 nursing di Indonesia mestinya diuntungkan dengan adanya bentuk pendidikan semacam ini. Sayangnya, minat sejumlah besar mereka yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi ini terbentur dan belum terfasilitasi, walaupun di luar negeri program serupa bukan hal baru. Eksistensi DL sudah diakui mendunia.

Artikel ini berusaha menganalisa jawaban atas keraguan kualitas nurses lulusan D3 yang melanjutkan pendidikan S1 melalui program DL. Pada dasarnya, program ini bukan tidak mungkin diluncurkan di Indonesia. Hanya saja hal ini bisa diwujudkan dengan kerja keras dan kerjasama dari berbagai pihak, tidak cukup apabila didukung hanya oleh lembaga pendidikan, profesi serta masyarakat saja. Sebaliknya, peran Pemerintah sebagai decision maker, harus tegas.

Jika negara-negara lain bisa diuntungkan dengan program yang sama, sepanjang kurikulum dan garis-garis besar pendidikan serta kompetensi yang bakal dicapai kelak oleh para lulusan jelas tergambar, dengan memanfaatkan pendekatan PBL, mengapa DL bagi nurses harus di-anak-tirikan? Apalagi lulusan D3 sudah mengantongi Surat Ijin Praktek, yang nota bene merupakan sebuah dokumen legal. Dari sudut profesional, kompetensinya bisa dipertanggung-jawabkan. Segudang penelitian beberapa dekade ini membuktikan, DL adalah solusi kebutuhan kelanjutan pendidikan nurses, bukannya PR yang harus diperdebatkan!

Penulis adalah lulusan:

Program DL, BSN Post Registration USQ Australia 2002

Program DL, Post Grad. Diploma Hospital & Healthcare Management Symbiosis Healthcare Center-Pune-India 2003

Program DL, Master of Nursing USQ Australia 2004.

Doha, 25 June 2008 - Source : INNA-PPNI