Menghadapi Negativisme Rekan Kerja

27/01/2012 19:26

Negativism is a behavior characterized by the tendency to resist direction from others, and the refusal to comply with requests (https://psychology.jrank.org). Dalam definisi yang lain disebutkan: A stubborn tendency to do the opposite of what one is asked (https://en.wiktionary.org). Jadi, ciri negativisme jelas, selalu berseberangan dan tidak selaras dengan permintaan. Segala sesuatu yang baik bagi kita, dianggap tidak baik oleh orang yang memiliki karakter ini.

Hidup memang bukanlah pepatah atau perumpamaan. Ada orang-orang yang tegar, ada pula yang sensitive menghadapi berbagai tantangan. Tantangan hidup dapat menimbulkan stress yang luar biasa. Bahkan tidak sedikit yang bunuh diri, karena tidak kuasa menghadapi tantangan ini. Salah satunya adalah negativisme rekan kerja. Negativisme ini bisa terjadi di mana saja dalam lingkungan kerja kita. Hampir di setiap instansi di mana saya bekerja, selalu ada saja model orang-orang dengan karakter yang satu ini.

Bila kita bekerja dengan sepuluh karyawan, berarti ada 10 macam watak yang harus siap kita hadapi. Semakin banyak rekan kerja, semakin besar tantangan kita dalam aspek professional psiko-sosial. Perjalanan hidup profesional tidak selalu lancar. Menariknya, justru apabila perjalanan profesionalisme kita mulus, kita malah tidak akan pernah belajar untuk menjadi dewasa. Persoalan yang rumit, uniknya bisa membikin kita jadi matang dari segi profesi. Tentu saja tidak harus berlebihan. Karena beban mental yang berlebihan dalam kerja, sebut saja jika separuh dari rekan kerja memiliki karakter ini, bakal membuat kehidupan profesi amburadul.

Artikel ini mencoba membahas tentang tahapan kiat menghadapi rekan kerja yang memiliki karakter negativisme ini. Di antaranya dengan jalan mengenal diri sendiri, mengenal pribadi/watak orang lain, bersikap positif, straight forward, serta dokumentasi profesi.

Mengenal Diri Sendiri

Mengenal diri sendiri itu tidak mudah. Membutuhkan proses, bahkan tidak jarang harus melibatkan orang lain atau seorang ahli. Kita dituntut mampu bercermin melihat watak atau temperamen kita. Kita harus tahu apa-apa yang membuat kita senang atau benci, setuju atau tidak, terbuka atau mudah tersinggung, introvert atau extrovert, dsb. Kita harus mampu pula menimbang diri sendiri mana kelebihan dan kekurangan kita. Dan yang paling penting lagi adalah, kita harus mampu mendudukkan diri secara proporsional antara sebagai individu atau profesi.

Misalnya, kelebihan saya adalah suka bergaul, mudah beradaptasi dan komunikasi, suka keterbukaan. Saya orangnya senang humor, tetapi ada batasannya. Saya tidak suka humor jika di momen-momen yang tidak pada tempatnya. Saya suka improvisasi dalam kerja. Selalu bersemangat apabila diajak berbicara tentang kemajuan profesi. Pekerja keras dan mencintai pekerjaan, dsb.

Sebaliknya, kelemahan saya adalah saya type orang yang tidak senang apabila disepelekan. Tidak suka kepada orang yang kurang bisa menghargai karya orang lain serta kurang pandai menyembunyikan ketidak-sukaan. Saya merasa sedih jika bekerja dengan rekan kerja yang lambat. Saya kurang bisa menahan amarah apabila disinggung perasaan saya. Saya tipe orang yang tidak suka kepada orang yang salah tapi ngotot. Saya adalah pendendam, dsb.

Semua ini merupakan contoh hasil mengenal diri sendiri. Semakin banyak jumlah daftar inventarisasi tentang karakter diri sendiri ini, semakin baik anda mengenal diri sendiri. Apalagi dari sisi negatif. Mengenal sisi negatif diri sendiri berarti akan membantu mencari tahu bagaimana penanganannya.

Kenali Pribadi Orang Lain

Saya pernah menghadapi kolega sewaktu kerja di Dubai Electricity & Water Authority dengan temperamen seperti ini. Dia senior yang saya menghormati. Namun saya merasa di hadapannya tidak pernah benar. Semula saya beranggapan hanya saya yang berpikiran seperti itu. Saya mencoba bercermin, di mana sebenarnya letak kesalahan saya yang membuat dia bersikap seperti itu terhadap saya. Saya pun sharing dengan rekan kerja yang lain.

Ternyata, saya tidak sendiri. Beberapa rekan kerja mengalami nasib serupa kalau harus deal dengan dia. Karena dia ditunjuk sebagai supervisor (Baca: tidak langsung), segala sesuatu yang saya kerjakan, harus sepengetahuan dia. Akan tetapi, perlakuannya terhadap saya hampir setiap saat, selalu kurang bersahabat. Saya sebenarnya selalu terbuka dengan kritik. Tapi yang ini benar-benar saya rasakan lain. Ada kesan meng-underestimate saya sebagai professional. Hal ini menjadi ganjalan komunikasi kami. Sikap yang demikian tidak benar, bahkan di mata organisasi. Kesimpulan saya, saya tidak bisa bekerjasama dengan orang semacam ini.

Suatu hari, saya langsung bertanya kepada dia, menempatkan diri saya sebagaimana dia biasanya memperlakukan saya. Saya bertanya kenapa dia selalu bersikap seperti itu terhadap saya. Dia tersinggung dan marah. Saya pikir, dia perlu tahu, bahwa dia tidak bisa seenaknya memperlakukan rekan kerja seperti ini. Saya bilang: “You know, you are neither my supervisor nor my manager. Don’t do like this to me!” Kata saya mantap. Dia malah tambah emosi. Dia bilang: “Don’t come to see me again!” Jawab saya: “Well…it’s up to you. For me, no problem! You are only my colleage. We work together for the organization. Not for individual! Dia kayaknya dongkol sekali. Tapi saya lega hari itu.

Dia melapor kepada manager tentang sikap saya terhadap dia hari itu. Mestinya, saya yang melapor ketidak-beresan sikap dia kepada manager. Tapi saya bersikap tenang, karena saya tahu bagaimana harus menjawab jika manager bertanya. Ketika manager bertanya kenapa saya bersikap demikian kepada dia, saya jawab: “I can’t work together with him. He is only my colleague, though senior. Give me someone whom I can work with. From the way he behaves, I can’t accept that. And, I am not the only one. You want to know what he did to others?” Manager diam. Dia sadar, bahwa saya juga seperti dia. Tidak mau diperlakukan seenaknya dan punya etika profesi. Sejak saat itu, manager di departemen lah yang melihat langsung laporan-laporan atau rencana kerja saya, tanpa melewati rekan kerja saya di atas.

Hal yang sama pernah juga saya lakukan ketika sebagai staff nurse di Kuwait. Yang saya hadapi adalah senior nurse, Head Nurse dan Supervisor. Permasalahannya saya tidak diijinkan Salat Jumat, padahal tidak ada kerjaan yang mendesak, butuh waktu hanya 30 menit, seperti waktu breakfast saja. Tidak ada aturan yang tidak membolehkan staff tidak salat. Saya ‘protest’! Persekongkolan mereka, membuat saya mengajukan pindah yang kemudian dikabulkan oleh Director of Nursing. Saya percaya, ini jalan terbaik. Saya sadar, hospital ini milik Government yang menjunjung tinggi hak-hak beribadah sejauh tidak mengganggu dinas dan tentu saja ada koordinasi. Tapi yang namanya ‘Tidak boleh’, itu aturan pribadi yang mengada-ada! Saya paham dengan karakter 3 orang tadi.

Mengenal watak orang lain itu penting. Tapi bukan berarti kita harus menerima apa adanya. Selama kita yakin bahwa kita berada di garis yang benar. Kalau perlu sampaikan kepadanya bahwa apa yang dilakukan terhadap kita kurang atau tidak benar di mata profesi dan juga organisasi.

Ada kalanya kita dituntut diam dan menyusun strategi jika menghadapi senior-senior seperti di atas. Kita perlu tahu bagaimana agar kita tidak diperlakukan semena-mena. Tapi tidak harus sakit hati jika kita sudah memahami wataknya. Karena tidak ada gunanya. Upayakan terbuka menerima kenyataan bahwa rekan kita itu misalnya: pasif atau hiperaktif, suka marah atau tidak pernah serius, perfectionist atau tidak organized, suka mengkritik atau tak acuh, lambat atau terlalu tergesa-gesa, dsb. Jadikan catatan pribadi semua watak dan karakternya sebagai ‘bekal’, bagaimana harus bergaul dengannya.

Be Positive

Positive thinking is a mental attitude that admits into the mind thoughts, words and images that are conductive to growth, expansion and success. It is a mental attitude that expects good and favorable results. A positive mind anticipates happiness, joy, health and a successful outcome of every situation and action. Whatever the mind expects, it finds (https://www.successconsciousness.com).

Berpikir positif, adalah sikap mental, membantu kita jadi senang, sehat dan sukses. Berpikir positif akan mengurangi tekanan mental dan stress. Berpikir positif menjadi awal yang baik dalam mengatasi segala permasalahan. Berteori semacam ini memang mudah, semudah saya menuliskannya di atas artikel ini. Namun kalau menjumpai langsung di lapangan, akan lain lagi persoalannya. Tapi tetap bisa dipelajari.

Ada banyak kejadian pahit dalam hidup ini yang kita dituntut untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Hikmah. Jika kita mau mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidup ini, sepahit apapun, maka tidak ada istilah sakit hati. Biarlah orang lain memiliki prasangka buruk terhadap kita. Itu hak mereka yang di luar kendali kita. Tapi jangan mudah melakukan hal yang sama, yang hanya bikin duri dan borok dalam hati serta pikiran. Jika ini dipupuk, jalinan kehidupan professional kita akan rapuh.

Pengalaman saya jika menghadapi senior yang negativisme, membuat saya ekstra hati-hati dalam melakukan pekerjaan. Itulah positive thinking yang perlu kita ambil. Jadi, tidak perlu su’udzon (berprasangka buruk) kepada orang-orang semacam ini apabila mereka menjadi senior kita. Hanya bikin sakit hati saja. Sebaliknya, jadikan sebagai pelajaran berharga, bahwa ‘saya akan menjadi lebih baik dengan negativismenya’. Sekali lagi ‘Be Positive’!

Straight Forward

Suatu hari, saya dipanggil oleh seorang senior saya. Dia, di depan seorang senior lagi, mengkhotbai saya seperti ini: “Please be careful and concentrate on your work. Don’t be in a hurry! We, at any time, will be removed by our organization if we work carelessly.” Saya selanjutnya bertanya, apa pesan spesifik yang sebenarnya ingin dia sampaikan. Dia bilang: “Nothing. Just general advise!” Bagus! Pikir saya. Sebuah nasehat yang baik, tetap baik sekalipun keluar dari mulut seorang musuh.

Sekitar sepuluh menit kemudian, dia mengirimkan email ke sejumlah penggede di kantor kami. Tahu apa yang dia perbuat? Dia mengirimkan email dengan attachment yang salah. Padahal, ibarat belum kering ludah dibibirnya sesudah menceramai saya, malah dia sendiri yang tergesa-gesa dan berbuat salah. Kemudian, muncul email balasan dari seorang manager, mengatakan bahwa lampiran yang dia kirimkan salah! Nah!

Di lain waktu, dia juga memanggil saya, menunjukkan email dari seorang manager, yang berisi data confidential yang mestinya tidak perlu di ekspose. Tanpa dikoreksi, sikap dia terhadap saya seolah mendakwah, bahwa saya lah pelakunya. Saat saya tiba di depan monitornya, saya tanya, apakah nama saya tercantum sebagai pengirim data terdahulu, sebelum email tersebut diforwardkan kepadanya. Ternyata, dari sekian daftar nama yang ada, nama saya tidak ada di dalamnyanya, sebagai bukti bahwa bukan saya pengirimnya. Dia kecele dan diam!

Straight forward. Itulah salah satu cara menghadapi orang-orang dengan karakter negativisme. Langsung ke issue dan to the point. Orang semacam ini memang ‘bahaya’, meski dalam guyonan sekalipun. Jadi, hati-hati!

Dokumentasi

Siang itu, ba’da Salat Dzhuhur, seorang berpostur tinggi besar, dengan nada marah mengatakan bahwa dokumen yang dia serahkan kepada kami belum beres. Padahal sudah sepuluh hari lebih. Dokumen itu milik istrinya yang perlu diverifikasi. Katanya, dokumen tersebut sudah dikirim lama oleh departemen tempat istrinya bekerja kepada kami. Dia juga bertanya dengan nada ngejek, apa saja yang kami kerjakan selama ini dengan dokumen itu. Istrinya, jauh di Tunisia, berkali-kali menelepon dia, menanyakan nasib dokumen tersebut. Maklum, karena beres-tidaknya akan berkaitan dengan uang. Saya pikir, sah-sah saja dia memiliki kekhawatiran seperti ini.

Akan tetapi, cepat mengambil kesimpulan dan berpikiran negatif kepada orang lain, tanpa menunjukkan bukti, adalah kebodohan. Di tengah luapan emosi serta nada tinggi ocehannya, saya diam saja. Setelah saya tanya namanya, saya baru tahu persoalannya. Saya minta orang tersebut menunggu sebentar, kemudian saya ke kantor untuk mengambil dokumennya. Tanpa banyak berkata pah-pih-puh, saya tunjukkan bukti tanggal penerimaan dokumen tersebut di departemen kami. Yang tertulis adalah: tertanggal sehari sebelum dia datang mencak-mencak di kantor kami. Bukan sepuluh hari yang lalu sebagaimana yang diklaim. Dan saat ini verifikasinya sudah beres. Dia diam seketika!

Dokumentasi amat vital peranannya dalam sebuah organisasi. Kredibilitas sebuah organisasi bisa dinilai lewat bagaimana mereka mendokumentasikan semua prosedur yang ada. Lewat dokumentasi organisasi bisa diketahui apakah menjalankan tugas-tugas organisasinya dengan baik atau serabutan. Tertibnya dokumentasi sanggup menggeser sikap negativisme ini. Sodoran hitam atas putih, membuat orang-orang yang berkarakter negativisme ini jadi tidak berdaya. Tidak mampu berargumen lagi.

Karena itu, dokumentasikan dengan baik segala kegiatan. Jangan disepelekan aktivitas resmi (official activities/procedures). Tidak ada yang namanya ‘teman’ atau rasa saling percaya jika harus bergaul dengan karakter negativisme ini. Orang semacam ini akan dengan mudah menjatuhkan kita tanpa ada barang bukti. Akan tetapi, begitu dia tahu bahwa anda orangnya organized, dia akan berpikir seribu kali jika harus melibatkan anda dalam urusannya.

Kesimpulan

Menarik sekali bergaul dengan orang-orang yang memiliki temperamen negativisme ini. Bayangkan, segala sesuatu yang mengesankan, jadi membosankan di benaknya. Putih dikira hitam. Keindahan jadi suram. Kebenaran jadi remang-remang. Pendeknya, setiap hal positif yang kita miliki, serba salah di matanya. Makanya, jangan heran, jika di hadapannya, kegembiraan berubah jadi kegelisahan, kemajuan barbalik jadi keterbelakangan.

Namun jangan dikira kita tidak diuntungkan dengan kondisi tersebut. Lewat mempelajari karakter diri sendiri, watak orang lain, positive thinking, straight forward serta mendokumentasi semua aktivitas, kita akhirnya bisa ambil buahnya. Pola pikir dan tindakan professional kita bisa jadi lebih dewasa lantaran negativisme ini. Setidaknya, melalui langkah-langkah tersebut kita bisa kurangi dampak negatifnya. Kehidupan profesi ternyata bisa tumbuh subur bila dibumbuhi pupuk-pupuk negativisme ini.

Ibarat partai politik, negativisme rekan kerja ini adalah oposisi. Biarkan dia jadi pengontrol aktivitas kita. Beri kesempatan tumbuh, tapi jangan biarkan sampai akarnya merambat dan merajalela, menggerogoti batang tubuh professionalisme kita.

 

Doha, 17 September 2008

shardy2@hotmail.com