Made in India

27/01/2012 19:28

Seringkali saya dengar dalam pembicaraan di antara orang-orang kita, jika mau menyebut orang India, umumnya tidak langsung menyebut kata ‘India’. Entah apa yang melatar-belakanginya. Mereka, disindir dengan kata ‘Bawang’ sebagai gantinya. Istilah ‘bawang’ pun merambak dan jadi nge-trend penggunaannya sebagai perbendaraan baru dalam kamus pergaulan masyarakat Indonesia di Qatar, bila obyek pembicaraan menyangkut manusia India. Konon, karena mereka doyan bawang dan (maaf) berbau badan seperti bawang, sehingga kita juluki: bawang. Bagaimana dengan kita yang ngebet dengan petis, terasi, petai atau jengkol?

Bawang, dalam artian yang sebenarnya, memang enak, karena merupakan bahan masakan utama yang memberikan aroma tersendiri dalam menu keseharian masakan kita. Namun, seenak apapun bawang, siapa yang mau dijuluki ‘bawang’? Saya rasa, tidak ada seorang pun di antara warga kita yang mau dipanggil ‘bawang’ atau berpredikat sebagai ‘bawang’. Begitu pula dengan ‘kencur’. Betapapun bermanfaat, hanya mereka yang kurang sehat mentalnya yang rela dipanggil ‘kencur’.

Tanpa bermaksud membela orang-orang India, apalagi mengkhotbai anda, tulisan yang jauh dari riset dan data statistik ini mencoba melihat sisi positif orang-orang India dengan kacamata yang lebih obyektif. Karena bisa saja malah kita harus lebih banyak belajar dari mereka. Bukannya sinistik. Apalagi di Bulan Suci Ramadan ini. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan kita untuk tidak meremehkan orang lain, karena boleh jadi orang yang diremehkan jangan-jangan lebih baik dan berkualitas dari kita yang meremehkan.

******

Usai sholat Dzuhur, beberapa tahun lalu, ketika saya masih berada di Dubai, UAE, kami langsung menuju kediaman Bapak Konsul Jenderal RI, memenuhi undangan makan siang bersama, masih dalam suasana Lebaran. Tanpa diliputi rasa ‘sungkan’, ikut bersama saya dua orang rekan asal India, Mohammad Thufail dan Abdul Karim, yang sengaja saya ajak untuk mengenal sebagian rasa ‘Inilah Indonesia ku’! Bersalam-salaman, kemudian….makan! Itulah acara intinya.

Waktu itu di ruang makan hanya ada kami bertiga, karena yang lainnya sudah selesai makan dan berada di ruangan depan. Kami, cowok semua, memasuki ruangan, sementara di ruang sebelah, di saat saya menjelaskan sebagian bahan dasar makanan yang tersaji kepada dua orang ini, terdengar berulang kali “Ha…ha…..ha….hi..hiii…hiii.!”, suara ibu-ibu, mbak-mbak, tertawa. Entah apa obyek pembicaraannya. Saya sendiri, karena terbiasa, tidak ‘risih’ mendengarnya. Tetapi dua orang India yang bersama saya, ekspresinya lain. Mohammad Thufail sering memalingkan pandangannya ke saya bilamana ‘geeerrrrr….’ terdengar. Akupun tersenyum. Maklum!

“Kenapa perempuan Indonesia kok bicaranya tidak bisa pelan dan tertawa seperti itu?” Aku tersentak oleh pertanyaannya. Tersinggung? Tentu saja “Ya!” Apalagi pertanyaan (Baca: pernyataan!) Thufail adalah bentuk generalisasi, karena tidak semua perempuan Indonesia bersikap seperti di ruang sebelah. Mereka di sana memang omongannya keras dan tertawanya ‘cekikikan’ orang Jawa mengistilahkan. Padahal lebih dari separuh di antara mereka berjilbab. Lantas apa hubungannya jilbab dan omongan serta ketawa yang keras ini? Barangkali itulah batasan yang dimengerti oleh Mohammad Thufail. Bahwa muslimah dan omongan keras ini erat sekali kaitannya.

Sebagai ‘tuan rumah’, aku ingin ‘membela’ mereka, betapapun yang diungkapkan Mohammad Thufail adalah nyata dan benar. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa hendaklah perempuan-perempuan itu tidak mengeraskan suaranya….. Mohammad Thufail secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa sikap perempuan-perempuan yang berbicara keras dan tertawa lebar tidak dibenarkan. Itu singkatnya! Namun untuk berbicara langsung seperti itu, kayaknya ‘kasar’. Makanya, pada hemat Thufail, dari pada mendiagnosa, lebih baik bertanya, lebih ‘sopan’. Tapi bagi saya, keduanya tidak beda, bertanya atau mendiagnosa, intinya sama! Setali tiga uang!

“Perempuan Indonesia biasanya memang berbicara dan tertawa keras….tetapi mereka tidak membicarakan orang lain Thufail! Tidak seperti perempuan India, mereka berbicara pelan-pelan, namun menggunjingkan orang lain….we call it ‘ngrumpi’!” Gurauku, yang dijawab Thufail pula dengan tawa. Kami pun tertawa (Baca: ha..ha..ha…), namun tidak sekeras di ruangan sebelah, melupakan obyek diskusi segar siang itu.

*****

Beberapa kali saya ikut pertemuan, katakan temu publik, di mana laki-laki dan perempuan juga kumpul, terpisah tempatnya, di antara orang-orang India. Bagi orang kita, campur baur tidak ‘masalah’. Apa yang ditemui Mohammad Thufail di antara kami, yang bukan hanya terjadi pada perempuan-perempuan Indonesia, tanpa melebih-lebihkan, nyaris tidak saya temui di antara komunitas India. Mereka begitu rapi, teratur, padahal jumlahnya tidak sedikit. Tentu yang ini jangan bandingkan dengan gambaran orang India yang ada pada film-film yang beredar di Indonesia!

Saya pernah menghadiri pertemuan Indian Muslim Association di Dubai, yang diikuti tidak kurang dari 3000 peserta, berbuka puasa bersama. Para peserta begitu tertib, tidak gadau, dan subhanallah…..menyiapkan makanan untuk 3000 orang kan tidak sedikit? Meski demikian, terkesan teratur. Mereka adalah kumpulan dari berbagai organisasi Islam India, yang tidak terkesan mengenal adanya perbedaan. Mereka bahu-membahu, mulai dari menggelar tikar hingga mengemasi sampahnya.

Sementara masyarakat kita… masyaAllah…. padahal waktu itu bulan puasa, sekitar 200 orang hadir di halaman Kantor Konsulat-Dubai. Usai berbuka, Ta’jil, hanya sebagian yang melaksanakan sholat Maghrib, yang lainnya ngobrol, merokok, seolah tidak salat bukan menjadi persoalan. Astaghfirullah! Pemandangan itu ada di depan mata Mohammad Ashraf, orang India lainnya yang istrinya seorang warga Indonesia di Dubai.

Barangkali saya yang terlalu berburuk sangka terhadap orang kita sendiri, dan terlampau berbaik hati kepada India. Mungkin saja saya ini orang Indonesia yang ‘sok’ India. Tapi itulah yang terjadi di depan mata yang telanjang ini!

*****

Kalau mau jujur, orang India memang banyak juga yang buruk perangainya, karena sebagian besar penduduknya yang saat ini sudah mencapai angka diatas satu miliar jiwa di mana yang namanya krisis (ekonomi, sosial, politik, budaya, hankam) merajalela. Hampir setiap hari kekerasan, pembunuhan, perkosaan, perampokan, bencana alam, kelaparan, dan lain-lain musibah kemanusiaan terjadi di daratan Asia Selatan ini akibat ulah orang India juga. Apatah lagi yang namanya kehidupan di Calcuta atau Mumbay. Tapi bukankah fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia? Jakarta, Surabaya, Medan hingga Malang. Tidak beda!

Kembali lagi. Kalau mau jujur, kita lebih baik mencari kebaikan mereka, tidak perlu dinventarisasi kejelekannya. Sebaliknya, agar fair, kita harus pula inventarisasi kejelekan diri sendiri supaya ada upaya untuk memperbaikinya. Kita ambil hikmahnya, agar kita menjadi umat Islam yang berkualitas. Ini penting lantaran catatan sejarah membuktikan sudah begitu banyak contoh-contoh kebaikan yang bisa jadi ‘prestasi’ orang-orang India, yang kita belum mampu menandinginya dalam banyak segi kehidupan.

*****

Kita mulai dari segi pendidikan? Cendekiawan (almarhum) Nur Cholis Majid mengungkapkan perbandingan jumlah lulusan S2 kita dengan India, yang konon miskin, ternyata 1:60. Jadi jika menginginkan kualitas pendidikan seperti mereka, kita masih harus belajar 60 kali lebih giat! Padahal peranan pendidikan ini penting guna meningkatkan kualitas manusia. Dari segi teknologi, hingga saat ini hanya orang asing asal India yang bisa duduk setingkat dengan orang Amerika Serikat di NASA.

Hotmail.com, penemunya orang India, Sabeer Bhatia namanya (https://www.iloveindia.com/indian-heroes/sabeer-bhatia.html). Bos Microsoft Bill Gates sampai akhirnya tertarik untuk menanamkan modalnya di India, negara pengeskpor tenaga kerja komputer terbesar dari Asia, utamanya dari kota Hyderabad, pusat pendidikan komputer negara tersebut.

Harga buku, di India murah sekali. Oxford Dictionary terbaru yang harganya di Indonesia di atas Rp 200 ribu, di India hanya separuhnya! Ijazah S1 yang dipegang Thufail, teman saya di atas, kayak kertas buram. Yang penting bukan tampilannya, tapi nilainya. Laku di mana-mana. Ijazah kita? Terbuat dari kertas berkualitas nomer satu, tapi agar bisa dibaca orang luar, kita harus terjemahkan dan disahkan di sana-sini. Kuliah di India, murah sekali. S2 Nursing biayanya hanya sekitar Rp 10 juta hingga selesai. Di kita, kuliah S1 nursing per semesternya saja mencapai Rp.5 juta. Kualitasnya? Negara besar mana di dunia ini yang tidak ada Indian nurses nya? Profesor dan doktor di India, gampang dicari. Kita? Konsultasi dengan pembantu dosen saja, harus mencuri-curi!

Perdagangan? India berada di peringkat kedua pengkespor terbesar di Timur Tengah, sementara Indonesia di posisi 10. Sampai-sampai penyiar dan jurnalis BBC pun orang India, seperti Sonia Deol, Sangita Myska, Rajesh Mirchandani, Reeta Chakrabarti, Rajini Vaidyanathan, dll). Film? Tanpa melihat kualitasnya, mereka mampu memproduksi 1000 film lebih dalam setahun, jauh melebihi produksi Hollywood. Film India jadi tuan rumah di negeri sendiri. Film kita? ‘Boro-boro’ jadi tuan rumah dan kualitas. Sudah bisa diproduksi saja, sudah lebih dari untung!

Kebugaran dan obat-obatan? Yoga bermula dari India yang sekarang sudah mendunia. India hanyalah satu negara di samping Cina yang memiliki sejumlah perguruan tinggi di mana ada fakultas kedokteran tradisionalnya. University of Hyderabad (https://www.uohyd.ernet.in/) menyelenggarakan program doktoral untuk Ayurvedic Medicine, pengobatan tradisional India. Padahal Jamu Nyonya Menir, yang sudah puluhan tahun belum juga menyelenggarakan kursus yang diakui Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pendidikan resmi yang tingkatannya sejajar dengan keperawatan atau kedokteran.

Biaya kesehatan? Di India RSU milik Pemerintah gratis! Berkunjung ke dokter praktek murah sekali. Dokter gigi di pedesaan hanya memasang tarif Rupees 50 atau tidak lebih dari Rp 10 ribu. Bedah tulang belakang di Manglore (sekelas Malang) hanya sekitar Rp 15 juta. Di kita? Jangan harap Rp 25 juta bisa selamat! Medical Tourism juga tumbuh pesat di India (www.recoverdiscover.com).

Tenaga kerja? Dimana di dunia ini yang tidak ada orang India nya? Amerika, Inggris, Afrika Selatan, Jepang, Malaysia, Singapore, Australia, serta negara-negara Arab. Bahkan mereka mampu menembus jaringan televisi Indonesia. Siapa tidak kenal Ram Punjabi? Keluarga India yang turut merajai persinetronan di Indonesia? Pendeknya, orang India menyebar ke berbagai lini lapangan pekerjaan, mulai dari bawah tanah hingga luar angkasa. Mereka yang bekerja di hotel tadinya sebagai pelayan, tidak akan berhenti berjuang sebelum menjadi manager. Dari buruh sampai Perdana Menteri (sorry, saya gunakan istilah India) di luar negeri.

Presiden Singapore sekarang, yang ke enam, Sellapan Ramanathan, asal negara bagian Tamil Nadu, India. Orang India, pendeknya, tekun dan ulet sekali! Tenaga kerja kita? Buruh bangunan saja, tidak mampu bertahan 3 bulan, di tengah terik matahari Timur Tengah, kemudian pulang kampung. Orang India, sanggup membangun gedung pencakar langit dan memuluskan jalan-jalan kelas satu di negara-negara kaya di Teluk, bahkan ‘membangun’ negara. Tigapuluh persen penduduk ekspatriat UAE, orang india. Ibaratnya, tanpa keterlibatan orang-orang India, negara-negara kayak Malaysia, Singapore, Kuwait, Saudi, Qatar dan UAE, bisa ‘lumpuh’! Kita, hanya mampu mengeskpor lebih dari 90 % tenaga kerja yang tidak atau kurang terampil. Itupun, masih sering dilecehkan!

Bahasa? Pada jaman Orde Baru kita sempat diajarkan untuk bangga dengan istilah-istilah Sansekerta, mulai dari Eka Prasetya Panca Karsa hingga Purna Karya Nugraha. Padahal isitilah-istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskrit, India, yang sebenarnya kita ‘pinjam’dari mereka. Kapan kita kembalikan? Wallahu a’lam!

Suatu hari, rekan saya, Mohammad Koya, orang India Selatan bertanya kepada saya, “Kamu tahu artinya Megawati? Itu diambil dari bahasa kami!” katanya ringan. Lho? Jangankan kata megawati, kata-kata lainnya seperti ‘Apem, Karena, Sampurna, Surya, bumi, gerhana, puteri, putera, warta, mangga, dan masih banyak lagi, termasuk seluruh kisah pewayangan Ramayana dan Mahabarata yang ditonton filmnya oleh jutaan manusia Indonesia…ternyata….aslinya milik orang India! Dalam sebuah buku karya Casparis, J.G. de, 1997, Sanskrit loan-words in Indonesian: An annotated check-list of words from Sanskrit in Indonesian and Traditional Malay, tidak kurang dari 700 perbendaraan kata dalam Bahasa Indonesia yang dipinjam dari bahasa Sansekerta ini (https://seasrc.th.net). Saya maklum, karena ribuan tahun lalu orang-orang Gujarat, India Selatan memang berlayar dan menempati Indonesia. Jadi kita turunan mereka? Kalau tidak, mana mungkin istilah-istilah tersebut membahana di negeri ini? Akar Bahasa Kawi yang banyak kita gunakan adalah berasal dari Sanskrit (https://www.asianinfo.org/asianinfo/indonesia/pro-history.htm).

Kalau pingin tahu nama negara yang paling bangga dengan bahasa dan tulisannya sendiri tanpa harus ketinggalan dengan bahasa internasional, Inggris, India lah jawabnya! India memiliki 18 Bahasa daerah, lengkap dengan huruf-hurufnya, yang resmi diakui sebagai Bahasa Negara, disamping Hindi dan Inggris yang populer. Bahasa kita? Bahasa dan huruf Jawa saja sudah lama ditinggalkan. Dan huruf-huruf ABC sampai Z, bukan punya kita!

Agama? Buku-buku Islam kondang banyak yang dihasilkan oleh maulawi-maulawi asal India. Cendekiawan Indonesia, hanya ‘pandai’ menterjemahkannya. The Holy Quran English version, standard, yang dipakai di dunia Islam adalah karya Abdullah Yusuf Ali yang asal India. The Nobel Quran and The Interpretation juga karya Muhammad Muhsin Khan, dosen di Madinah University. Ahli Perbedaan Agama Ahmed Deedat yang berwarga negara Afrika Selatan juga aslinya India. Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghozali dikemas dalam Bahasa Inggris oleh Maulana Fazlul Karim. Dan masih banyak lagi contoh-contoh prestasi mereka yang membuat kita iri. Sementara ribuan lulusan IAIN dan Al Azhar-Cairo kita bukan apa-apa jika dibanding dengan prestasi ulama-ulama India dalam kaitannya dengan penerbitan buku berkelas internasional. Karena buku-buku kita, yang sudah mahal, ternyata hanya muatan lokal, alias untuk mereka yang mampu berbahasa Indonesia!

Teknologi? Jangan tanya! Kita memang punya orang-orang semacam Habibie. Tapi berapa jumlahnya? Di Inggris saja sudah ada perkampungan orang-orang India yang titelnya berderet sebagai ilmuwan. Belum lagi restaurant India di Amerika Serikat, Australia dan Canada yang padat dikunjungi oleh para scientists mereka. India sudah jauh kearah tenaga nuklir, sementara kita masih sibuk ngurusin pergantian lampu mati di Jawa-Bali. Meski demikian, para ahli India ini masih akrab dengan makanan rakyat: upuma, put, idli dan pratha! Para ahli kita? Makan nasi saja ogah! Makanya, beras mahal sekali. Institut Teknologi Pertanian (ITB) Bogor yang konon bergengsi belum sanggup meneliti padi sendiri. Pusat penelitian beras koq malah ada di Filipina (www.irri.org).

Presiden SBY, doktor jebolan IPB, ternyata tidak mampu menurunkan harga gabah yang makin mencekik. Kita datangkan beras dari berbagai negara. Di India, beras Basmati tidak perlu impor. President India, Smt. Pratibha Devisingh Patil, perempuan pertama India lulusan Sarjana Hukum Bombay Government College, mampu mengangkat pertumbuhan ekonominya hingga 8.5% (https://www.iht.com/articles/ap/2007). Sedangkan Indonesia diharapkan ‘meningkat’ jadi 6.2% tahun 2009 (https://mybusinessblogging.com/indonesia-business/2008/08/31). India berada di urutan ke 18 sedangkan Indonesia harus puas berada di urutan ke 67 dari 214 negara dalam daftar Gross Domestic Product (www.wikipedia.org).

*****

Jika ingin berhasil dalam bisnis di Timur Tengah, ‘pekerjakan orang India’, ungkapan itu tertanam kuat dalam dunia bisnis di Timur Tengah. Jumlah Indian Business Tycon di Timur Tengah, bisa bikin takjub, mulai dari Lulu, KM Trading, Allianz Group, Apollo, Altaindia, India Pharma, dll. Itu belum termasuk bisnis di bidang pendidikan serta jumlah sekolah India. Sedangkan kita? Kalau harus menjadi distributor Indomie, grocery bahan masakan Indonesia, restaurant serta salon saja, sulitnya bukan main! Apalagi yang namanya rencana mendirikan sekolah Indonesia, hanya wacana. Padahal jumlah penduduk kita di UAE saja lebih dari 50.000. Jumlah yang hampir sama berada di Qatar dan Kuwait!

Namun bukan hanya segi bisnis duniawi saja. Dalam persoalan bisnis ukhrawi, keagamaan, kita juga butuh banyak belajar dari mereka. Pusat Jamaah Tablig terbesar di dunia ada di daerah yang disebut Nizamuddin, New Delhi. Padahal umat Islam di Indonesia lebih banyak ketimbang di India kan?

Keuletan mereka dalam berorganisasi, dedikasi mereka terhadap organisasi, juga tidak diragukan. Abdul Azeem, sekarang sudah balik ke India, 17 tahun lamanya setiap minggu mengedarkan buletin organisasinya, ke sekitar 10 orang langganan di bawah koordinasinya, hanya untuk memperoleh Dhs 2 per eksemplarnya (sekitar Rp 5000). Dia juga rajin mengumpulkan sadaqah orang-orang di desanya setiap bulan sekali secara tetap tidak kurang dari 10 tahun. Masih banyak azeem-azeem lainnya yang saya temui yang melakukan kegiatan serupa di negara-negara Teluk. Orang kita? Jangankan mengedarkan bulletin, mau membeli terbitan sendiri demi kepentingan organisasi saja alotnya bukan main!

Orang India paling bangga dengan hasil produksinya sendiri. Mereka yang terjun di organisasi-organisasi Islam, tanpa melihat kualitas buletinnya, terpanggil untuk membelinya secara rutin sebagai pelanggan agar secara finansial organisasinya tetap eksis. Mereka tidak akan berpikir dua tiga kali untuk membeli buku-buku Islam yang terpajang di meja-meja kantor organisasi Islamnya. Mereka khusyuk setiap kali mendengarkan khotbah-khotbah yang disampaikan oleh dai-dai, meskipun kelasnya tidak seperti Aa Gym. Orang kita? Akan menganggap khotbah ‘berkualitas’ jika banyak dibumbuhi oleh lawakan-lawakan segar. Astaghfirullah!

*****

‘Belomba-lombalah kamu mencari kebajikan!’ Begitu perintah Allah SWT. Ada banyak hal yang perlu kita pelajari dari orang India. Apa yang terpampang dalam film-film India memang banyak yang tidak pantas kita tiru, karena muatannya tidak lebih dari budaya kehidupan bebas, sebagaimana umumnya film-film kita.

Namun demikian dari uraian diatas, sudah jelas, bahwa manusia-manusia India tidak semurah bawang sebagaimana biasa kita menyindirnya. Jadi, tidaklah pantas kita sebut mereka sebagai ‘bawang’ kalau kita tidak mau dipanggil ‘kencur’ oleh mereka.

Tahukan anda dari mana asal kata ‘Indonesia’? Indonesia berasal dari Bahasa Latin ‘Indus’ yang berarti ‘India’ , dan ‘Nesos’ dari Bahasa Yunani yang berarti ‘kepulauan’. Penggunaan nama Indonesia, yang semula Indunesians, diusulkan oleh seorang ahli Ethnologi berkebangsaan Inggris, George Earl, tahun 1850 (Wikipedia.org).

Jadi, dalam banyak hal, lebih bijaksana sekiranya kita mestinya yang masih harus menimba banyak ilmu dari mereka. Kalau perlu, mengubah ungkapan: carilah ilmu hingga ke negeri India, bukan lagi Cina!

 

Doha, 7 September 2008

Shardy2@hotmail.com