Aku Yang Mulai Terkikis

28/01/2012 16:02

 

By Daben Suhendi

 
Sabtu pagi ini, terasa ada satu aktivitas yang menghilang. Biasanya pagi-pagi sudah disibukkan dengan pencarian referensi untuk kebutuhan tuga-tugas wiro sableng ampe puyeng he he.. Setelah berolah raga sambil memoles istri ke-2 dan ke-3 yang biasa ditunggangi kemanapun penulis dan keluarga pergi, teringat akan ‘sesuatu’ yang ingin penulis curahkan; sebuah harapan.

Salah satu kenangan yang terindah saat liburan panjang- semester di Kampoeng tercinta. Kala musim hujan dimana para petani sedang sibuk-sibuknya menanam padi dan jenis palawija lainnya termasuk orang tua penulis. Nah selama liburan kuliah ini, penulis pun ikut berlumuran tanah  sambil bermain dengan para sahabat kecil lainnya. Asiknya alam pedesaan yang asri, tentram dan penuh kedamaian selalu membuat penulis menyempatkan diri menengok ‘tempat’ yang pernah membahagian dan membesarkannya terutama saat liburan lebaran sambil bersilaturahim, ngomong-ngomong lebaran, Ramadhan sebentar lagi euy…

Kira-kira sampai tahun 90-an atau mungkin sampai sekarang, masuk sekolah kesehatan adalah sesuatu yang sangat dibanggakan oleh sebagian para orang tua. Mereka menganggap anaknya kelak bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan tanpa harus menguras banyak keringat seperti mereka. Almarhum bapak penulis pernah berucap, “sekolah lah nak dengan baik  dan janganlah seperti aku kelak nanti”. Pesan yang singkat ini sempat menyerap dibenak penulis saat tiba dirumah kala itu, apa maksud dan makna dibalik pesan orang tua tersebut?

Setelah berkutat dengan buku selama kurang lebih 3 tahun lamanya, November 1997 lalu adalah hari dimulainya karir penulis sebagai perawat, hampir 80 orang dari berbagai daerah diikrar pada acara wisuda yang amat sangat ceria. Para orang tua dan saudara pun ikut menghadiri dan mensyukurinya. Namun setelahnya, tidak ada yang menyadari apa makna ikrar tersebut dan akan kemanakah ijazah yang didapat bisa digunakan? Happy during the graduation only.

Keluar kampus dan bekerja secepatnya seakan telah menjadi filosofi saat itu, tidak mempedulikan apa dan bagaimanakah peran dan tujuan karir yang akan dipilih, yang penting kerja sajalah!  Dan memang terbukti, setelah diterima bekerja dan menikmatinya, penulis lupa akan kebutuhan yang menjadi dasar profesi yaitu “professional development”.  Rutin  training yang diberikan dari employer pun dirasa cukup membosankan. “Untuk apa sih, sudah kerja juga masih tetap ditraining..?”  Nah itulah dilemanya jika menjadi seorang professional lapangan, mungkin beda tuntutannya dengan teman-teman yang terjun langsung ke institusi pendidikan, baik training atau pun peningkatan pendidikan selalu diharuskan.

Waktu pun terus berlalu, menjelajahi karir sebagai perawat industry pun semakin meluas (Alhamdulillah); jarak, waktu, budaya dan ataupun tipe servisnya mulai dari emergency (pre-hospital), ambulance dan sekarang occupational health, dari jalan kaki, naik boat sampai naik pesawat, keculai Helikopter karena memang penulis belum pernah menyentuh lokasi offshore, hanya trainingnya saja. Thus, seiring dengan perkembangan jaman inilah dan peningkatan mutu serta  kompetensi tentunya penulis menjadi relalistis, kebutuhan akan professional development ternyata sangat dibutuhkan juga bagi kita yang berada dilapangan. Tuntutan untuk segera melanjutkan pun dirasa sangan mendesak. Dimana-mana di Dunia termasuk di wiliayah Timur Tengah ini dan di Indonesia tentunya Perawat diharuskan sarjana setelah 2015, bahkan dibeberapa negara segera mengimplementasikannya mulai tahun depan bahwa minimal pendidikan perawat kudu sarjana, nah lho!

2008 lalu seiring dengan terbentuknya komunitas perawat di Qatar, penulis mulai terbuka akan pentingnya peningkatan level pendidikan. Pencarian informasi pun dimulai baik dari teman-teman dimilis, facebook, di tempat kerja atau pun pada setiap acara kumpul lebaran, arisan atau reuni. Sebagian informasi dari mereka mengisyaratkan penulis untuk sesegera mungkin mengambil keputusan, bahkan sebagian mereka menyatakan, “pengalaman saja tidak cukup kalau tidak dibarengi dengan peningkatan kualifikasi  pendidikan, sudah banyak lulusan sarjana saat ini”. Duh... beruntungya mereka yang telah menyelesaikan sarjana dan bahkan sekarang sedang S2.

Pesan orang tua seperti tersebut diatas ini seakan menjadi petunjuk penulis untuk terus sekolah jika memang terjangkau. Tidak ada pilihan lain karena ijazah yang dimiliki saat ini juga sudah mulai terkikis seiring dengan tuntutan kompetensi dan regulasi. Jika kita bertahan dan hanya mengharapkan dari apa yang telah kita dapat, mungkinkah kita akan tetap bisa bersaing kalau pun kita harus kembali ke tanah air? Berdasarkan data kementrian kesehatan, data perawat di Indonesia saja sampai pertengehan tahun 2010 lalu ada sekitar 250 ribu perawat, dan sudah ngabadeg yang lulusan sarjananya. Dan tuntutannya lainnya bahwa jika pun karir kita akan berlanjut di dunia pendidikan, undang-undang telah menghadangnya.

Sebagai rujukan saja, dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 45 disebutkan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebagai wujud implementasi dari Undang-Undang tersebut, Departemen Pendidikan Nasional akan melaksanakan Sertifikasi Dosen. Pelaksanaan Sertifikasi Dosen dilakukan melalui penilaian portofolio sesuai Permen Diknas Nomor 47 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen. Tantangan lainnya bagi dosen keperawatan adalah yang disebutkan pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 46 ayat 1 bahwa Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Selanjutnya pasal 46 ayat 2 menyebutkan, Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Pada tahun 2012 nanti, semua dosen harus tersertifikasi.

Bagi kita yang dipinggiran sangat berharap, semoga pemerintah dan departemen terkait akan dengan penuh hati memfasilitasi kita memenuhi segala tuntutan tersebut di atas. Bukan hanya profesi yang akan terkikis, tetapi peluang kerja internasional pun pada sektor professional perawat akan tersisihkan oleh negara-negara lainnya yang memang sudah selangkah lebih maju, sebut saja Filipina yang merupakan negara tetangga yang paling dekat, tetapi kenapa 'terasa' sangat jauh.

Ingat kawan, kekuatan batu baterei ada limitnya, jika full charge level pun tetap akan membutuhkan chargernya, apalagi kalau batterinya habis, sampai ke kolong ranjang pun kita cari itu charger. However, keahlian dan kepintaran yang kita miliki tidak akan pernah bisa menembus regulasi atau lisensi. Nah, seperti halnya dengan profesi kita yang membutuhkan charger, keep moving tentunya!

Pengalaman hanyalah sebagai modal usaha dan pendidikan adalah jenis investasinya.

Let's move and prove together.