Puncak Sebuah Prestasi

2008-10-09 10:28


Puncak Sebuah Prestasi
Oleh: Syaifoel Hardy
 


Sore itu, di website nya Departemen Kesehatan saya dapatkan, masih di halaman pertama, tiga puluh satu dokter yang mengeluh dengan diberlakukannya PTT (Pegawai Tidak Tetap). PTT adalah sebuah peraturan yang mewajibkan dokter yang baru lulus untuk mengabdi ke pemerintah, pengabdian masyarakat. Peraturan tersebut kenyataannya ditemui oleh banyak dokter muda sebagai suatu kebijakan yang terlalu birokratis bahkan menyulitkan. Salah seorang dokter ada yang mengatakan, dari pada mengikuti program PTT gaji kecil dan tidak ada jaminan jadi pegawai negeri, lebih baik jadi satpam di Bank luar negeri saja gajinya bisa mencapai dua juta rupiah!

Jangankan profesi lainnya. Dokter pun, sebagai sebuah profesi yang boleh dibilang paling bergengsi, saat ini sudah banyak yang cemas. Menganggur bagi kalangan dokter muda bukan suatu yang aneh sekarang ini. Kecemasan yang menjurus kepada anxiety merambat dimana-mana. Sumpah setia profesinya tinggal sumpah diatas kertas semata, karena dokter pun sudah banyak yang beralih profesi. Begitu salah satu tulisan yang tertera. Pendidikan yang menjanjikan kedudukan terhormat ini ternyata tidak seindah prasangka orang-orang awam! Justru sesudah melaksanakan ujian yang paling ditunggu-tunggu penyandang sarjana kedokteran, dokter, pada akhirnya bisa dibuat bingung oleh kelangkaan pekerjaan di jaman moderen ini!

Adakah ini ‘puncak’ sebuah prestasi?

Lima anak yang biasa berkumpul bersama Bu Lia, guru di sebuah sekolah lanjutan atas itu, ternyata bukan anak-anak kandungnya. Itu dikatakannya dihadapan saya dengan linangan air mata bertahun-tahun lalu. “Mereka bukan anak kami Dik! Mereka putera-puteri kakakku, ayah mereka yang meninggal sejak anak-anak masih kecil!” Kata wakil kepala sekolah yang waktu itu akan memasuki usia pensiun. “Kepada siapa lagi anak-anak ini harus bertumpu? Kecuali kepada kami, karena ibu mereka juga tidak bisa bekerja.”

Anak-anak tersebut kini sudah besar-besar dan mereka pisah dengan ibunya. Rumah besar yang ditempatinya juga sudah dijual. Bu Lia dan suaminya yang kini berusia lanjut, tidak lagi sanggup merawat rumah sebesar itu. Mereka menempati rumah baru di sebuah kota besar. Bu Lia yang tergolong ‘punya’, tidak sulit kalau hanya untuk membeli rumah baru. Saya lihat suami Bu Lia, seorang kontraktor, memiliki beberapa buah rumah.

Sementara Bu Subur, ibu ke-lima anak-anak itu, yang semula hidup bersama dengan Bu Lia ketika anak-anak masih kecil, sekarang ikut puteri bungsunya yang sudah berputera dua. Sayangkah saya terhadap harta Bu Lia yang sedemikian banyak hartanya hanya karena dia tidak dikaruani anak oleh Allah SWT? Saya melihatnya beda! “Bu Lia beruntung. Banyak orang yang punya anak, namun mereka nakal-nakal dan tidak berbakti kepada orangtuanya. Keponakan Bu Lia begitu baik pada Ibu, jadi bersyukurlah!” Demikian hiburku, menirukan ucapan A.A.Gym.

Hari-hari yang penuh tawa ceria, ketika anak-anak itu masih kecil, musnah sudah. Bu Lia dan suaminya kini ‘sendirian’ di rumah. Biarpun rumahnya 3 buah, yang ditempati hanya satu! “Ah, harta!” Begitu gumamku, saat sebelum sholat di lantai atas rumah yang baru ditempatinya.

Anak-anak yang dulu lucu-lucu, kini sudah mengurusi keluarganya sendiri-sendiri. Kadang kala saja mereka menengoknya. Sejak kepulangannya dari Tanah Suci tiga tahun lalu, hari-hari Bu Lia dan suaminya hanya diisi dengan kegiatan yang tidak lebih dari ‘pekerjaan rumah’ semata.

Inikah ‘puncak’ sebuah prestasi?

Sore hari menjelang Maghrib suatu hari, aku menelepon teman lama yang sedang sakit. Dia menderita penyakit yang ‘paling’ ditakuti manusia: kanker! Kabar terakhir yang saya dengar, dari hasil pemeriksaan, bekas rekan kerja beberapa tahun lalu itu kini sedang mengalami penjalaran Kanker Payudara ke Lever nya. Astaghfirullah! Padahal ibu satu anak yang belum genap empat tahun usianya ini tidak setua Bu Lia.

Penyakit memang tidak mengenal belas kasih, tua atau muda, miskin atau kaya. Dalam perbincangan kami, ditengah ‘kicauan’ Meme, sang anak, yang terdengar di telepon, dia masih sempat ketawa-ketawa kecil, seolah menutupi penderitaannya selama ini.

Mbak Yati. Begitu saya biasa memanggilnya, kata teman-teman, sudah mulai ‘putus asa’ dengan hasil pemeriksaan selama ini. Dia rajin berobat rutin sebulan sekali ke rumah sakit spesialis kanker guna melihat ‘perkembangan’ terapinya. Bagi kalangan orang-orang kesehatan, bukan suatu yang ‘baru’ lagi kasus ini. Dari sekian kasus yang ada, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh penderita kecuali menunggu ‘keajaiban’. Tingkat keberhasilan terapi terhadap kanker ini amat kecil. Saya percaya, Mbak Yati sadar betul akan keadaan ini. Yang saya bayangkan hanyalah, bagaimana dia menjelaskan semua ini kepada si Meme yang masih balita?

“Mbak Yati yang sering-sering minum air putih pagi hari sesudah bangun tidur ya?” Aku mencoba memberikan saran sebagaimana yang pernah saya dapat dari seorang rekan di Bandung, bahwa minum air putih sebanyak satu setengah liter bisa membantu meringankan beban penderita kanker, sebagai pengobatan yang disebut Hydro Therapy. “Aku nggak sakit koq!” Kata Mbak Yati, sedikit ketawa. Sambil mengayunkan langkah kakiku ke masjid, aku terenyuh sekali mendengarnya. Kutekan tanda switch off HP ku. Andai saja engkau seorang muslimah, do’a ku insyaallah tidak akan sia-sia.

Padahal Mbak Yati dulu sehat wal afiat. Padahal dia selalu menjaga makanan. Padahal dia selalu berusaha untuk berbaik budi dengan orangtua dan anggota keluarganya. Hampir semua adik-adiknya, dia yang membeayai kuliah mereka hingga selesai. Bahkan pernikahan mereka, Mbak Yati yang membeayai. Mbak Yati pula yang membangun rumah orangtuanya. Kini, dia harus lebih banyak tidur karena pengaruh obat-obat yang sudah seonggok diminumnya. Mulai dari konservatif hingga alternatif.

Ketika Mbak Yati bersama suaminya berkunjung menemui salah seorang rekan saya, Abdi, katanya rambut Mbak Yati sudah banyak yang rontok. Anak Abdi, yang belum genap dua tahun, katanya ketakutan sekali begitu mengetahui wajah Mbak Yati sekarang. Tidak perlu saya sebutkan bagaimana perubahan wajah itu terjadi akibat kanker. Padahal beberapa bulan sebelumnya tidak demikian. Subhanallah... kalau sudah begini keadaannya, kekuatan mana lagi yang sanggup memperbaiki kondisi fisiknya? Hanya kepada Pamilik Kehidupan lah segala sesuatunya bisa digantungkan.

Adakah ini ‘puncak’ sebuah prestasi?

Hari ini aku memang ketiban banyak berita. Sedih juga duka. Mendengar berita tentang Halim, salah seorang teman mendapatkan kerjaan baik, aku turut suka sebenarnya. Malah dia dapatkan pekerjaan yang terbaik diantara kami se-profesi. Gaji besar, rumah disediakan, tunjangan sekolah buat anak-anak hingga tiga orang jatahnya, bahkan perabotan rumah tangga juga ada tunjangannya, selain...tiket, pulang pergi ke negara asal untuk sekeluarga. Betapa bahagianya dia....

Agaknya Halim akan memetik buah kebaikan yang dia tanamkan selama ini. Alhamdulillah.

Kami bertemu sekitar tiga jam sesudah berita itu hadir di telinga saya. Halim tersenyum. Kami berpelukan. Dalam hati saya juga sedih. Halim dan istrinya adalah sosok yang aktif dalam kegiatan kelompok kami. Diterimanya Halim di tempat kerja yang baru akan membuat kami kehilangan mereka, orang-orang yang begitu tulus berjuang demi tegaknya Agama Allah SWT. “Do’a anda terkabul!” kataku, yang dijawabnya “Alhamdulillah! Berkat bantuan do’a kalian semua juga!”

Adakah ini ‘puncak’ prestasinya?

Aku pun ingat pesan AA Gym. ‘Orang yang sehat adalah yang turut gembira atas kebahagiaan yang menimpa orang lain’. Sedangkan, bila sebaliknya, kita sakit hati manakala melihat orang lain yang berbahagia, itulah aib pribadi!

Lahir, sekolah, kerja, nikah, dan mati. Itulah lima urutan kejadian kehidupan yang dialami oleh rata-rata umat manusia. Sebagian umat manusia ada yang kurang beruntung tidak menjalani sebagian dari rangkaian proses tersebut. Ada yang tidak mampu untuk bersekolah maupun bekerja, ada pula yang bisa sekolah namun sulit mendapatkan kesempatan kerja. Ada yang sudah kerja tanpa mengenyam pendidikan formal apapun, ada pula yang sudah sekolah, dapat kerja, tetapi gagal dalam kehidupan rumah tangga. Beberapa golongan manusia sengaja tidak menikah guna ‘menyucikan diri’, tidak sedikit pula manusia yang menikah dengan status pengangguran!

Ada yang kesulitan mencari kerja meskipun tinggi tingkat pendidikannya, sebagaimana dokter-dokter diatas, ada pula yang mudah mendapat rejeki tanpa bersusah payah. Ada yang punya harta banyak, tetapi tidak dikaruniai anak olehNya seperti keluarga Bu Lia, ada pula yang beranak banyak, tanpa harta. Ada yang masih muda, namun terserang penyakit ‘ganas’ seperti yang sedang menimpa Mbak Yati, ada pula yang menikmati rahmat yang berlimpah, seperti yang dialami Halim.

Kelima proses kehidupan diatas memang penuh dinamika. Dari orang-per-orang tidak sama dalam menjalani dan menyikapinya. Sudah tentu ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Sebagian menyalahkan sejarah hidup masa lalu, tidak kurang yang menganggap itulah garis hidup!

Yang sama adalah kesempatan. Semua manusia memperoleh kesempatan yang sama untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak hatinya. Apapun bentuknya! Sekalipun hakekatnya-oleh karena sejumlah faktor dan latar belakang yang berbeda, terlepas dari kurang dan lebihnya manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio dan spiritual-setiap orang punya kehidupan 24 jam sehari, 7 hari per minggu, dan 12 bulan per tahun. Akan diapakan waktu yang dipunyai selama hidupnya? Allah SWT memberikan ‘kebebasan’ kepada manusia sepanjang menjalani proses diatas.

Rangkaian hidup ini bisa kita isi dengan berbagai variasi kegiatan. Kita lah pengambil keputusannya! Ambillah contoh pada saat anda membaca tulisan ini. Bukankah kalau mau, anda pun bisa berhenti sejenak kemudian makan, minum, menelepon teman, memperbincangkan orang lain, berdoa, membaca buku, dsb?

Satu hal yang perlu disadari adalah, diluar kebebasan itu, ternyata terdapat dua hal yang kita tidak kuasa mengendalikannya: yakni awal dan akhir dari proses diatas. Dua kejadian itu adalah kelahiran dan kematian. Keduanya tidak ada yang bisa mengatur ataupun mampu menolaknya. Kapan mulainya dan kapan berakhirnya proses kehidupan ini? Keduanya adalah rahasia Allah SWT.

Segala kejadian yang menimpa ditengah-tengah dua peristiwa sebagai Rahasia Allah SWT ini, tidak lebih dari sebuah ujian hidup kita. Seperti Firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran: 186, yang artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu!” Punya anak atau tidak, harta menumpuk atau miskin, sehat atau sakit, mapan dengan pekerjaan atau pengangguran, semuanya akan menjadi ‘sederhana’ sekiranya belajar memahami bahwa semua ini hanyalah ‘cobaan’ yang diujikan oleh Allah SWT.

Prestasi akan kita raih bilamana kita sanggup mengatasi segala persoalan diatas. Biarpun sukses merebut kursi kepresidenan, sebutan martabat tertinggi di negeri ini, apabila kita tidak berhasil menyikapinya sebagai sebuah ujian (Baca: amanah), hakekatnya gagal lah kita dalam mencapai puncak prestasi.

Ada baiknya kita memang tidak perlu terlalu resah. Apapun yang terjadi pada diri ini, cobalah kita kembalikan semua persoalannya kepada Zat Yang Maha Menguasai segala permasalahan hidup, agar supaya kehidupan ini menjadi ‘mudah’. Itulah ‘puncak’ prestasi yang sebenarnya. Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah: 155: yang artinya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Wallahu a’lam!

Doha, 09 October 2008

shardy2@hotmail.com